
Suasana di Jalan Tol JORR ruas Bambu Apus, TMII, Jakarta, Rabu (12/2/2020). Menurut rencana, pada ruas Jatiasih-Ulujami yang juga melewati ruas ini akan dibangun tol layang sepanjang 22 kilometer.
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta Elevated atau Tol Layang JORR diperkirakan membutuhkan biaya Rp 21,5 triliun untuk jalan sepanjang sekitar 22 kilometer. Alokasi dana Rp 1 triliun per kilometer itu setara dengan pembangunan moda raya terpadu fase 1 yang menghabiskan biaya Rp 16 triliun untuk transportasi massal di jalur sejauh 15,7 kilometer.
Bagi sebagian warga, sejumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun Jalan Tol Layang JORR dari Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat, hingga Ulujami, Jakarta Selatan, itu tidak sepadan dengan hasilnya kelak karena diprediksi tidak bisa mengurangi kemacetan secara signifikan. Investasi triliunan rupiah itu dinilai akan lebih bermanfaat jika dialokasikan pada pembangunan transportasi massal.
”(Dengan biaya yang hampir setara) jelas saya pilih pembangunan MRT (moda raya terpadu) ketimbang pembangunan tol layang,” kata Hanif Abdurrahman (25), warga Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (13/2/2020).
Menurut dia, penambahan rute MRT saat ini lebih mendesak. Sebab, saat ini baru ada satu koridor yang melayani perjalanan dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI. Warga di kota satelit seperti Depok belum terjangkau layanan itu.
Baca juga : Warga Lebih Memilih Pemerintah Bangun Transportasi Publik daripada Jalan Tol Layang JORR
Kereta MRT melintas di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2019). Presiden Joko Widodo meresmikan pengoperasian MRT Jakarta pada Minggu (24/3/2019) pagi.
Hal serupa dikatakan Johanes (29), warga Jatiasih, Kota Bekasi. Menurut dia, yang sehari-hari bekerja di Jakarta Selatan, penambahan kapasitas jalan dengan membangun tol akan menambah kemacetan selama masa pembangunan. Setelah tol berdiri, kemacetan pun hanya tinggal menunggu waktu.
Dwi Ayu Lestari (27), warga Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, juga mengatakan hal serupa. Sejak MRT yang berfasilitas nyaman dan cepat hadir, ia sehari-hari menjadi pengguna aktif MRT menuju Bundaran HI. Ia pun berharap, ada investasi yang diarahkan untuk segera menambah jangkauan MRT ke seluruh penjuru kota.
Tak efektif
Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan, penambahan ruas tol merupakan solusi semu terhadap masalah kemacetan di Jabodetabek. Dalam jangka pendek, keberadaannya memang seakan-akan membuat jalan lebih lancar. Namun, kapasitas jalan akan penuh dengan sendirinya dalam jangka panjang karena adanya jalan memacu penambahan mobil dan mengembalikan kemacetan.
Selain itu, kapasitas jalan tol juga tak sebanding dengan alat transportasi massal dalam mengangkut penumpang. ”Kapasitas jalan tol lebih kecil ketimbang MRT dalam mengangkut orang,” ucapnya.
Baca juga : Tol Kunciran-Serpong Segera Beroperasi
Penumpang menunggu kedatangan MRT di Halte Blok M BCA, Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Namun, Djoko tak bisa memprediksi jumlah kendaraan dan penumpang yang bisa diangkut pada jalan tol yang direncanakan sepanjang 22 kilometer itu. Menurut dia, rumus dasar persamaan untuk menghitung volume kendaraan tak bisa digunakan begitu saja untuk memperkirakan volume kendaraan di jalan tol.
”Pengembang sudah pasti memiliki angka tersebut karena digunakan untuk menghitung besar investasi dan titik impas atau BEP (break even point),” kata Djoko.
Namun, General Manager Corporate Affair PT Nusantara Infrastructure Tbk Deden Rochmayati enggan menjawab pertanyaan Kompas terkait proyeksi volume kendaraan dan kapasitas Jalan Tol Layang JORR. Ia berdalih belum mendapatkan persetujuan direksi untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Direktur Asia Tenggara Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Faela Sufa memperkirakan, untuk wilayah perkotaan, satu lajur jalan untuk mobil bisa membawa 1.500 orang per jam. Jumlah tersebut lebih kecil dari kemampuan MRT dalam mengangkut penumpang.
Setiap gerbong MRT bisa mengangkut 180-200 orang. Adapun satu rangkaian transportasi massal itu terdiri atas enam gerbong atau bisa membawa 1.080-1.200 orang setiap keberangkatan, yaitu lima menit sekali.
Baca juga : Badan Usaha Usul Penambahan Kapasitas Tol Lingkar Jakarta
Suasana di dalam gerbong MRT yang tengah berjalan dari Lebak Bulus menuju Bundaran HI, Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Begitu pula dengan moda transportasi lain. Kereta commuter line, misalnya, setiap gerbong mampu membawa sekitar 200 orang. Satu rangkaian kereta yang berangkat setiap 5-15 menit rata-rata terdiri atas 10 gerbong. Bus Transjakarta pun demikian, bisa membawa 40-140 orang per bus dengan waktu keberangkatan 5-30 menit sekali.
”Daya angkut kendaraan pribadi di jalan tol tidak sepadan jika dibandingkan dengan kapasitas angkutan massal,” katanya.
Efektivitas Tol Layang JORR dalam mengurangi kemacetan memang belum teruji. Kepala Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo menuturkan, jalan bebas hambatan itu tidak termasuk dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) Tahun 2018-2029 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018. Masih diperlukan kajian bersama untuk memutuskan apakah pembangunan Tol Layang JORR layak dipertimbangkan untuk merevisi aturan tersebut.
Dalam Perpres No 55/2018, terdapat sejumlah proyek pembangunan yang menurut rencana akan dituntaskan dalam tiga tahap. Dengan sejumlah pembangunan, ada delapan sasaran yang hendak dicapai sebagian besar terkait dengan angkutan umum.
Baca juga : Kawasan Jabodetabek Makin Terhubung
Petugas kereta rel listrik (KRL) commuter line mengenakan masker di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Senin (3/2/2020).
Di antaranya, pergerakan orang dengan angkutan umum perkotaan harus mencapai 60 persen dari total pergerakan orang. Waktu perjalanan rata-rata setiap orang di dalam angkutan umum adalah 1 jam 30 menit pada jam puncak dari tempat asal ke tujuan. Sementara kecepatan rata-rata angkutan umum pada jam puncak di seluruh jaringan jalan minimal 30 kilometer per jam.
Selain itu, cakupan pelayanan angkutan umum mencapai 80 persen dari panjang jalan, sedangkan akses jalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter. Setiap daerah harus mempunyai jaringan layanan lokal/jaringan pengumpan (feeder) yang diintegrasikan dengan jaringan utama melalui satu simpul transportasi. Simpul transportasi harus memiliki fasilitas pejalan kaki dan parkir pindah moda dengan jarak perpindahan antarmoda tidak lebih dari 500 meter. Terakhir, perpindahan moda dalam satu kali perjalanan maksimal tiga kali.
Keberpihakan
Menurut Faela, keputusan untuk membangun jalan tol memberikan fasilitas secara tunggal, yaitu hanya untuk pengendara mobil. Masyarakat tidak memiliki alternatif lain untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Hal itu bertentangan dengan prinsip pengelolaan transportasi yang semestinya memfasilitasi pengguna jalan. ”Kalau ingin memfasilitasi orang, pilihan terbaik adalah memanfaatkan ruang untuk membangun multimoda,” ucapnya.
Baca juga : Bus Berpenumpang Terbakar di Tol Jakarta
Suasana sore hari di Taman Spot Budaya 2 Dukuh Atas, Jakarta Selatan, Rabu (21/8/2019). Kawasan ini menjadi salah satu lokasi integrasi antarmoda transportasi.
Selain itu, pembangunan tol juga merugikan dari banyak sisi. Salah satunya, merusak lingkungan dan tata kota karena banyak bagian tanah yang dibeton. Sejumlah tiang di kolong tol juga mengurangi aksesibilitas pengguna jalan. Selain itu, pusat ekonomi di sekitar jalan tol pun tidak bisa berkembang karena pengendara yang lewat di sekitarnya tak bisa sekadar mampir.
”Pembangunan tol dengan dana sebesar itu merupakan upaya yang mubazir karena pada dasarnya tidak memanusiakan manusia,” katanya.
Menurut Djoko, kelebihan pembangunan tol bisa dilihat dari segi bisnis. Bisnis jalan tol lebih menguntungkan ketimbang transportasi umum. ”Keuntungannya lebih pasti karena tarif tol pasti naik setiap dua tahun sekali,” ujarnya.
Gencarnya pembangunan tol juga bertolak belakang dengan kecenderungan pembangunan di negara lain. Di Korea, misalnya, sejumlah jalan layang justru dihancurkan.
Sejumlah wisatawan lokal dan asing menikmati suasana aliran Sungai Cheonggye, pusat kota Seoul, Korea Selatan, Selasa (3/9). Sungai bersejarah itu sebelumnya hanya sungai kotor bersampah, dengan perkampungan gubuk kumuh di hampir sepanjang kedua sisinya, yang direstorasi pemerintah metropolitan Seoul (1 Juli 2003-1 Oktober 2005), hingga akhirnya menjadi salah satu tujuan wisata terkenal.
Joon Ho Ko dari The Seoul Institute pada 2015 menulis studi berjudul Removal of Overpasses in Seoul to Improve the City Scape and Transportation Environment. Dalam studi itu, dijelaskan bahwa Korea menghilangkan 18 jalan layang yang dibangun sejak 1967 hingga 1984 dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu 1994-2004.
Samgakji Rotary Overpass, contohnya, dihancurkan untuk membangun pertemuan enam jalur kereta bawah tanah. Tteokjeon Overpass dihancurkan untuk memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan. Kemudian, Wonnam Overpass juga dihancurkan untuk menata ulang sistem lalu lintas yang termasuk dalam proyek restorasi Cheonggye.
"banyak" - Google Berita
February 13, 2020 at 06:08PM
https://ift.tt/2HpmlTC
Tol Layang Lingkar Luar Jakarta Seharga MRT Ditolak Banyak Pihak – Kompas.id - kompas.id
"banyak" - Google Berita
https://ift.tt/2ZTcKNv
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tol Layang Lingkar Luar Jakarta Seharga MRT Ditolak Banyak Pihak – Kompas.id - kompas.id"
Post a Comment