Search

Mengapa lebih banyak perempuan menjadi vegan? - BBC Indonesia

"100 persen laki, 100 persen daging," demikian bunyi slogan dalam sebuah iklan restoran waralaba McDonald's di China pada tahun 2012. Iklan tersebut bersandar pada stereotip bahwa daging itu maskulin. Dan anehnya, stereotip itu ada benarnya.

Ternyata - di hampir setiap bagian dunia, dari Swedia hingga Australia - jumlah laki-laki yang menjadi vegan dan vegetarian lebih sedikit. Di AS, satu survei terhadap 11.000 orang menemukan bahwa hanya 24% vegan adalah laki-laki.

Secara anekdot, ini bisa dilihat. Deretan perempuan yang terkenal sebagai vegan bertabur bintang, termasuk Natalie Portman, Miley Cyrus, Venus Williams, Ariana Grande, Ellie Goulding, Jessica Chastain, Alanis Morissette, Jane Goodall, Putri Beatrice, dan Beyonce.

Dibandingkan itu, deretan selebritas pria yang dikenal sebagai vegan sedikit sekali, di antaranya Benedict Cumberbatch, Peter Dinklage, Zac Efron, dan – yang paling terkenal – penyanyi Morrissey, yang mendalangi album The Smiths bertajuk Meat Is Murder dan dilaporkan mewanti-wanti anggota band-nya agar tidak difoto saat sedang makan daging.

Para psikolog telah menyadari kelimpahan perempuan yang menjadi vegan selama beberapa dekade. Mereka telah memikirkan banyak penjelasan yang meyakinkan — dan semuanya tidak mencerminkan laki-laki dengan baik.

Salah satu penjelasan yang ditawarkan ialah "maskulinitas genting" — gagasan bahwa laki-laki terus-menerus khawatir akan kehilangan status kelaki-lakian mereka, dan karenanya merasa perlu untuk membuktikannya di setiap kesempatan.

Misalnya, ketika laki-laki dipaksa untuk melakukan sesuatu yang "cewek", seperti mengepang rambut boneka, mereka cenderung ingin menunjukkan kejantanan mereka setelahnya.

Ini berpotensi menjadi batu sandungan utama bagi laki-laki yang ingin menjadi vegan pria, yang harus melawan stereotip karnivora berdarah merah. Tapi dari mana asalnya ini?

Steven Heine, seorang psikolog di University of British Columbia, mengatakan bahwa sebagian besar penyebabnya adalah faktor sejarah.

"Daging selalu dikaitkan dengan bahaya, karena Anda harus berburu untuk mendapatkannya, dan status, karena itu adalah makanan yang berharga dan kita hidup dalam masyarakat patriarki — jadi para laki-laki mengatur supaya hanya mereka yang memakannya," tuturnya.

Pandangan itu diduga diperkuat oleh pemasaran. Pada Abad 19, ketika mulai bisa diterima secara sosial bagi perempuan untuk makan di restoran, pemilik restoran dan eksekutif periklanan bergegas untuk memutuskan makanan mana yang paling untuk perempuan.

Keputusan mereka? Hidangan penutup yang cantik dan salad lezat untuk perempuan, sedangkan stik untuk pria.

Sampai hari ini, kita masih meneruskan pandangan ini ke generasi berikutnya.

Misalnya istilah "soy boy", istilah slang yang didefinisikan Urban Dictionary sebagai penerapan "laki-laki yang sama sekali tidak memiliki semua kualitas maskulin dianggap wajar," dan diklaim berasal dari hubungan (yang secara ilmiah diragukan) antara konsumsi produk kedelai yang berlebihan dan kerusakan pada fisik dan libido pria.

Dalam penelitiannya, Heine menemukan bahwa hanya dengan mencantumkan makanan vegetarian sebagai makanan favorit dalam deskripsi terperinci tentang kepribadian dan kebiasaan, cukup untuk membuat seorang pria terkesan kurang maskulin.

Karena hal itu, "mungkin beberapa pria khawatir tentang apa yang akan terjadi jika mereka memesan salad di restoran," katanya.

Margaret Thomas, seorang psikolog di Earlham College, Indiana, sepakat. "Saya tidak berpikir orang selalu menyadari sejauh mana makanan yang mereka pilih memengaruhi identitas mereka," katanya.

Thomas juga menemukan bahwa kaum vegan dianggap kurang maskulin — tetapi hanya jika itu pilihan. Ketika para partisipan dalam penelitiannya diberi tahu bahwa seseorang telah dipaksa melakukan diet karena "masalah pencernaan" yang misterius, mereka tidak dinilai begitu keras.

Tentu saja, penjelasan mengapa ada lebih banyak perempuan yang menjadi vegan tidak semuanya terkait laki-laki. Penelitian telah secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan secara umum lebih berbelas kasih, dan khususnya ketika menyangkut hewan.

Perempuan lebih cenderung keberatan dengan penggunaan hewan pada umumnya dan eksperimen pada khususnya, lebih cenderung memelihara hewan peliharaan, dan lebih kecil kemungkinannya untuk menganiaya mereka.

Demikian juga, perempuan membentuk 75% dari anggota kelompok hak-hak hewan. Faktanya, feminis dan aktivis hewan telah bekerja bersama selama lebih dari seabad.

Dua juru kampanye terkemuka untuk hak pilih perempuan, Alice Wright dan Edith Good, melobi PBB pada tahun 1940-an untuk memberikan hak-hak formal pada binatang — sebuah usulan yang baru saja mulai dipertimbangkan hari ini.

Pada 2018, psikolog Carolyn Semmler berusaha mencari tahu apakah perempuan juga lebih baik dalam menyelesaikan apa yang disebut "paradoks daging". "Ada banyak literatur tentang ini," katanya. "Gagasan bahwa orang mengaku mencintai binatang — namun mereka memakannya."

Bersama rekan-rekan dari Universitas Adelaide, Semmler merekrut 460 orang untuk studi ini, dan membaginya menjadi dua kelompok. Keduanya diminta untuk memilih hidangan domba untuk dimakan, dan kemudian diberi beberapa informasi.

Tetapi sementara sebagian dari mereka hanya diminta untuk membaca tentang kandungan gizi dari makanan mereka, yang lain diberikan perincian tentang bagaimana domba dipelihara dan disembelih, kemudian diperlihatkan sebuah video yang menunjukkan seekor anak domba yang telah belajar membuka gerbang kandangnya sendiri.

Setiap peserta disurvei pada awal dan akhir penelitian, untuk mengetahui perasaan mereka dan mendeteksi perubahan dalam sikap mereka terhadap daging.

"Kami melihat beberapa hal yang sangat menarik terjadi," kata Semmler. Pertama-tama, sebagian besar perempuan merasa lebih buruk setelah membaca tentang hubungan antara hewan dan daging, sementara laki-laki kurang lebih tidak terpengaruh.

"Kedua, sementara para perempuan umumnya kurang ingin makan daging pada akhir penelitian, para laki-laki lebih karnivora daripada sebelumnya."

"Ada sekelompok peserta pria yang menunjukkan reaksi sangat kuat terhadap penelitian ini — mengatakan bahwa mereka akan makan lebih banyak daging, karena mereka pikir kami ingin mereka makan lebih sedikit."

Salah satu dari mereka menjelaskan: "... Berdasarkan pertanyaan dalam survei ini, saya khawatir bahwa beberapa orang gila mungkin berusaha untuk melarang daging; Saya sebaiknya menikmati sebanyak mungkin selagi bisa."

Meskipun tidak semua pria merasakan hal ini, sebagian besar merasakannya. Tim tidak mendapat respons yang sama dari seorang perempuan pun.

Salah satu alasan yang memungkinkan untuk hal ini adalah perbedaan dalam cara laki-laki dan perempuan dalam menyikapi paradoks daging.

Sebuah studi pada tahun 2013, yang dipimpin Hank Rothgerber dari Bellarmine University, Kentucky, mendapati bahwa perempuan lebih cenderung menggunakan strategi "penghindaran" untuk mengatasinya, seperti tidak menghubungkan daging dengan hewan.

Hal ini secara mengejutkan mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena sebagian besar supermarket, restoran, dan merk makanan cenderung tidak menunjukkan bagian-bagian hewan yang lebih mengerikan, seperti bola mata, kaki, dan bulu. Jika hewan digambarkan dalam pemasarannya, mereka biasanya berupa karakter kartun yang riang.

Berbeda dengan strategi "disosiasi" yang disukai perempuan, studi Semmler menemukan bahwa pria umumnya menyikapi kenyataan yang merepotkan bahwa mereka menyukai binatang dan juga memakannya, dengan menyangkal bahwa binatang dapat merasakan sakit, menunjukkan bahwa daging itu penting untuk kesehatan, dan menyatakan hierarki di alam, untuk membenarkan gagasan bahwa manusia dapat melakukan apa yang mereka sukai pada makhluk lain.

Berdasarkan perbedaan ini, masuk akal bila peserta perempuan lebih terpengaruh — karena informasi yang mereka baca menyangkal mekanisme penghindaran mereka. Sementara para laki-laki hanya menggunakan pembenaran biasa mereka dan tidak terpengaruh.

Tapi itu mungkin bukan satu-satunya alasan. Menariknya, Semmler mengatakan bahwa hasil penelitiannya cocok dengan apa yang telah ditunjukkan oleh penelitian lain tentang bagaimana laki-laki dan perempuan menyikapi serangkaian keyakinan atau perilaku yang bertentangan satu sama lain.

"Sementara pria cenderung defensif, perempuan cenderung berpikir 'saya akan mengubah perilaku saya karena masalahnya ada pada saya — saya akan menerima tanggung jawab untuk ini'," ujarnya.

Misalnya, ketika perempuan dipaksa untuk menghadapi kenyataan tidak sehat dari perilaku tertentu, seperti merokok atau berhubungan seks tanpa kondom – dan kemudian mengingat contoh ketika mereka terlibat dalam risiko ini – dalam beberapa kasus, mereka mengubah sikap dan perilaku mereka dalam tingkat yang lebih besar daripada laki-laki.

Akhirnya, ada "teori dominasi sosial", yang menunjukkan bahwa manusia mungkin menemukan daging lebih menarik ketika mereka diingatkan bahwa itu terbuat dari hewan, karena itu memperkuat rasa dominasi dan superioritas mereka — dengan melihat hewan sebagai tidak pantas dihormati, mereka menegaskan kuasa atas mereka.

Ada beberapa bukti yang mendukung gagasan ini. Sebuah survei tentang sikap mahasiswa Amerika, yang dilakukan pada tahun 2015, menemukan kaitan antara preferensi untuk masyarakat yang lebih terstratifikasi secara hierarkis dan penggunaan – dan dukungan pada penggunaan – hewan.

Kaitan antara daging dan dominasi bukan hanya tentang binatang - itu juga tampaknya meluas ke spesies kita sendiri. Satu studi awal, yang dilakukan pada 1980-an oleh antropolog Peggy Sanday, membandingkan struktur kekuatan seratus pemburu-pengumpul budaya, beberapa di antaranya lebih mengandalkan daging untuk makanan, dan beberapa di antaranya lebih bergantung pada mengumpulkan buah-buahan dan sayuran.

Ia menemukan bahwa masyarakat berbasis daging cenderung lebih patriarkal, sedangkan masyarakat berbasis nabati pada umumnya lebih egaliter.

Ini diduga karena laki-laki lebih cenderung menjadi pemburu, jadi jika daging itu penting, mereka secara otomatis memiliki kekuatan lebih jika mereka menginginkannya - yang menurut temuan penelitian itu memang benar demikian.

Sementara itu, di masyarakat tempat gaya hidup meramu lebih dominan, perempuan mungkin menggunakan status yang memungkinkan mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih setara.

Semmler berpikir perlu lebih banyak penelitian sebelum kita benar-benar dapat menawab mengapa lebih banyak perempuan yang menjadi vegan. Tapi sepertinya itu adalah kombinasi dari kesenjangan empati antara kedua jenis kelamin, strategi yang berbeda untuk menyikapi paradoks daging, dan kekhawatiran unik laki-laki yang unik bahwa salad dapat merusak statusnya.

Satu hal yang jelas: seiring popularitas global veganisme semakin meningkat – jumlah vegan di AS meningkat 600% antara 2014 dan 2017 – perempuan jauh di depan.

Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini, The mystery of why there are more women vegans, di lamanBBC Future.

Let's block ads! (Why?)



"banyak" - Google Berita
February 26, 2020 at 09:15AM
https://ift.tt/2Tea8GZ

Mengapa lebih banyak perempuan menjadi vegan? - BBC Indonesia
"banyak" - Google Berita
https://ift.tt/2ZTcKNv
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Mengapa lebih banyak perempuan menjadi vegan? - BBC Indonesia"

Post a Comment

Powered by Blogger.