Laporan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang disiarkan berbagai stasiun TV menjelaskan dengan baik kenapa sebulan setelah Presiden mengumumkan anjuran agar orang-orang tinggal di rumah tidak memberi efek apa-apa. Sebagaimana kita ketahui, sebulan setelah anjuran itu diberikan, angka pasien tertular Covid-19 tetap meningkat secara eksponensial. Artinya, tidak ada pelambatan.
Kenapa begitu? Virus ini menular melalui interaksi langsung antarmanusia. Peningkatan masih eksponensial itu artinya tidak ada perubahan memadai dalam interaksi antarmanusia sejak anjuran itu diberikan. Jangankan itu, setelah pelaksanaan PSBB resmi dicanangkan pun sikap masyarakat tidak banyak berubah.
Tentu saja sudah banyak orang yang memilih untuk tinggal di rumah. Tapi masih banyak juga yang tidak mengikuti anjuran itu. Yang berperan bukan yang tinggal di rumah, tapi yang tidak mengikuti anjuran tadi.
Laporan di TV menunjukkan bahwa setelah PSBB ini pun orang masih dengan enteng keluar rumah tanpa masker. Kendaraan umum masih mengangkut penumpang secara penuh. Ditambah lagi soal simpang-siurnya ketentuan boleh tidaknya orang berboncengan naik sepeda motor. Intinya, PSBB ini belum berjalan sesuai harapan, masih jauh dari yang seharusnya diharapkan. Konsekuensinya, hasilnya juga tidak bisa diharapkan. Mungkin nanti sebulan setelah pencanangan PSBB angka jumlah orang tertular masih akan meningkat secara eksponensial.
Sejak wabah ini mulai terjadi terasa benar betapa sulitnya menggerakkan orang ke satu arah. Di masa awal masih banyak orang, termasuk tokoh masyarakat yang menentang penghentian sementara kegiatan ibadah bersama-sama. Masih banyak orang yang berpegang pada keyakinannya sendiri, membutakan diri terhadap fakta.
Masih banyak pula orang yang tidak peduli apa efek tindakan dia pada orang lain. Orang-orang yang bertahan di Masjid Kebun Jeruk tempo hari dengan gagah menganggap diri mereka tidak akan tertular. Faktanya, setelah diisolasi ada 70 lebih orang yang terinfeksi. Mereka harus diurus dan dirawat. Ditambah lagi ada pula kemungkinan mereka tertular.
Pengendara sepeda motor yang tidak pakai masker, sopir dan penumpang angkot yang diberitakan di TV tadi juga begitu. Mereka hanya berpikir soal diri mereka, bagaimana mereka cari makan, sedangkan akibatnya mereka tidak peduli. "Boro-boro berpikir soal lain, berpikir bagaimana bisa makan saja sudah pusing," begitu dalih mereka. Sekilas dalih itu terdengar seperti patut diberi simpati. Masalahnya, kalau sikap mereka tidak berubah, mereka akan terus-menerus terhalang dari upaya untuk cari makan.
Kita sekarang sedang dipaksa untuk belajar. Bila kita bisa belajar cepat, maka kita akan lulus dengan cepat. Bila lambat, penderitaan kita akan sangat panjang. Pelajarannya sederhana, yaitu bertindak bersama, berdisiplin, jujur, dan solider. Tidak boleh ada orang yang curang, diam-diam bertindak sendiri, berbeda arus dengan yang dilakukan orang lain. Ada sedikit saja yang tidak setia, maka kita semua akan gagal. Kalau gagal, artinya kita harus mengulang lagi pelajaran ini.
Fase pertama sudah jelas gagal. Sebulan setelah pengumuman Presiden tadi tidak ada perubahan. Kini kita memasuki fase PSBB. Kalau perilaku sebagian anggota masyarakat masih seperti yang dilaporkan TV tadi, maka sebulan berikutnya pun akan berlalu dengan sia-sia.
Ini akan terus berlanjut. Sebulan, dua bulan, enam bulan, dan seterusnya, tidak ada batasnya. Bukti dari pengalaman negara lain sudah begitu nyata. Tanpa perubahan sikap bersama, tidak akan ada perubahan. Hari-hari ini di Amerika setiap hari 1500 lebih orang mati karena Covid-19. Kalau kita tidak berubah sikap, bulan depan hal yang sama akan terjadi di sini.
Tidak ada jalan lain, kita harus belajar bersama. Yang sudah tertib tinggal di rumah harus memberi tahu pada yang belum tertib. Sekaligus mereka juga dibantu dengan dukungan logistik agar kebutuhan mereka selama tinggal di rumah terpenuhi. Aparat mesti lebih teliti dan tegas lagi memastikan semua ketentuan dalam PSBB ini terlaksana.Kita tidak bisa hanya berteriak mencela yang tidak patuh saja. Yang tidak patuh ini harus diubah menjadi patuh. Celaan sepertinya tidak akan mengubah mereka.
Sementara itu, di tengah aksi solidaritas yang makin menguat, ada saja orang yang justru bersikap sebaliknya. Mereka menolak pemakaman korban virus corona ini. Ini pun sikap yang basisnya adalah minimnya kesadaran soal kebersamaan. Bagaimana kalau mereka yang tertular, lalu rumah sakit menolak untuk merawat mereka? Itu sepertinya tidak mereka pikirkan.
Penguburan yang cepat adalah satu mata rantai penting dalam strategi pencegahan penularan Covid-19. Dengan memakamkan korban yang terinfeksi, salah satu sumber penularan segera bisa dimusnahkan. Menolak pemakaman itu artinya memperpanjang masa keberadaan sumber penularan tadi. Itu sepertinya tidak disadari oleh orang-orang tadi.
Kita punya tradisi bergotong-royong. Dalam banyak wujud hal itu sudah ditampilkan oleh berbagai lapisan masyarakat. Tapi gotong royong yang dibutuhkan kali ini sama sekali berbeda. Ini gotong royong total. Kalau selama ini dalam sebuah gotong royong ada sebagian orang yang tidak terlibat tidak menjadi masalah, kali ini hal itu jadi masalah besar. Semua orang harus terlibat.
Kita belum pernah dituntut untuk bergotong royong seperti ini. Karena itu kita masih terbata-bata. Masih banyak orang gagap. Orang-orang gagap ini harus segera melibatkan diri. Makin lama mereka lalai, makin buruk akibatnya.
Yang paling penting adalah kesamaan sikap para pemimpin. Sekarang masih ada saja ketidaksinkronan antarbagian dalam organisasi pemerintah. Selain membuat strategi pencegahan jadi tidak efektif, hal itu juga membingungkan masyarakat. Ini harus segera diakhiri.
(mmu/mmu)"banyak" - Google Berita
April 13, 2020 at 11:16AM
https://ift.tt/2XwM1r2
Belajar Banyak dari Wabah Corona - detikNews
"banyak" - Google Berita
https://ift.tt/2ZTcKNv
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Belajar Banyak dari Wabah Corona - detikNews"
Post a Comment